Contoh Perhitungan dari PPh pasal 21, 22 dan 23

 


  1. Buatlah contoh perhitungan dari PPh pasal 21, 22 dan 23 yang Anda ketahui! Sebutkanlah dasar hukumnya!

Pasal 21

Contoh Perhitungan

Dasar Hukum

Tn. Erick (K/0) merupakan pegawai tetap di PT. XYZ pada bulan Mei 2023 menerima gaji dan tunjangan sebesar Rp 22.000.000 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 440.000 sedangkan penghasilan Tn. Erick jika di setahunkan menjadi Rp 264.000.000.

 

Perhitungan PPh Pasal 21 terutang Tuan Erick di bulan Mei 2020:

Gaji dan Tunjangan                                Rp 22.000.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan           Rp   500.000
Iuran Pensiun           Rp   440.000 (+)
                                                                  Rp       940.000 (+)
Penghasilan Neto sebulan                    Rp 22.940.000


Penghasilan Neto setahun:
12x Rp 22.940.000 =             Rp 275.280.000
PTKP (K/0)                             (Rp  58.500.000) (-)
PKP Setahun                           Rp  216.780.000
PPh Pasal 21 Terutang Setahun:
5% x Rp 60.000.000       = Rp     3.000.000
15% xRp 156.780.000    = Rp   23.517.000 (+)
                                               Rp  26.517.000

 

PPh Pasal 21 Terutang Sebulan:
Rp 26.517.000
/ 12 = Rp  2.209.750

 

Tarif PPh Pasal 17 dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

5% untuk penghasilan kena pajak di bawah atau sama dengan Rp  60.000.000

15% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp  60.000.000 hingga Rp  250.000.000

25% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp  250.000.000 hingga Rp  500.000.000

30% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp  500.000.000 hingga Rp  5.000.000.000

35% untuk penghasilan kena pajak lebih dari Rp  5.000.000.000

 

Tarif PPh Pasal 21 ayat (5a) dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

 

Pasal 7 ayat (1) dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit:

o   Rp54.000.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

o   Rp4.500.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

o   Rp54.000.000,00 (tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami);

o   Rp4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Pasal 22

Contoh Perhitungan

Dasar Hukum

Contoh 1


Pada 1 Mei 2023, Dinas Pendidikan Kota Medan membeli mebel dan peralatan kantor lainnya dari Terbuka Furniture senilai Rp 444.000.000 (termasuk PPN 11%).

 

PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendaharawan dinas tersebut dihitung sebagai berikut:
DPP: (100/111) x Rp 444.000.000 Rp 400.000.000
PPh Pasal 22: 1,5% x Rp 400.000.000 Rp 6.000.000

 

Contoh 2

PT. Kawan Terbuka merupakan perusahaan yang pengolahan hasil-hasil pertanian. Pada Mei 2023, membeli bahan-bahan untuk keperluan industry tersebut dari UD. Petani Sejahtera sebagai pedagang pengumpul. Nilai pembelian sebesar Rp500.000.000.


PPh Pasal 22 yang dipungut PT. Kawan Terbuka dihitung sebagai berikut: 0,25% x Rp 500.000.000 Rp 1.250.000

PPh Pasal 22 ayat (1) dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Menteri Keuangan dapat menetapkan:

o   Bendahara pemerintah untuk memungut Pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang;

o   Badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan

o   Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

 

Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor /PMK.03/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menter! Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Dan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Pemotongan Dan/Atau Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Bagi Instansi Pemerintah

 

“Instansi Pemerintah wajib memungut PPh Pasal 22 atas pembelian barang sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.”

Pasal 23

Contoh Perhitungan

Dasar Hukum

Contoh 1

 

PT B merupakan perusahaan yang menyediakan jasa pengolahan limbah. Kantor Instansi Pemerintah Z membuat kontrak dengan PT B untuk melakukan pengelolaan limbah domestik di wilayah Kabupaten C
selama tiga bulan. Kontrak yang disepakati untuk pengelolaan limbah tersebut adalah Rp 200.000.000 Dasar pemotongan untuk jasa pengelolaan limbah tersebut adalah seluruh tagihan dari PT B, yaitu sebesar Rp 200.000.000 Atas pembayaran yang dilakukan Kantor Instansi Pemerintah Z kepada PT B dipotong PPh Pasal 23 oleh Kantor Instansi Pemerintah Z sebesar

2% x Rp 200.000.000 = Rp 4.000.000

Jumlah PPh Pasal 23 yang dipotong dan disetor oleh Instansi Pemerintah Z sebesar

Rp4.000.000 (empat juta rupiah).

 

Contoh 2

 

Instansi Pemerintah K menyewa mobil untuk kegiatan operasional selama 1 (satu) bulan kepada PT L sebesar Rp 20.000.000 Pemesenan sewa terserbut dilakukan melalui marketplace M yang tergabung dalam Sistem Informasi Pengadaan. Pembayaran dilakukan oleh Instansi Pemerintah K dengan menggunakan Uang
Persediaan atas sewa mobil tersebut:

a. dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 oleh Instansi Pemerintah K; dan

b. dipungut PPh Pasal 22 oleh marketplace M.

Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor /PMK.03/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menter! Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Dan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Pemotongan Dan/Atau Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Bagi Instansi Pemerintah

 

Instansi Pemerintah wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar:

a. 15% (Iima belas persen) dari jumlah bruto atas penghasilan berupa:

o   bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

o   royalti; dan

o   hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21; dan/atau

b. 2% (dua persen) darijumlah bruto atas penghasilan berupa:

o   sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2); dan

o   imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain, yang pembayarannya dibebankan pada anggaran pendapatan
dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau anggaran pendapatan dan belanja desa selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.


 

  1. Jelaskan yang dimaksud dengan pajak berganda, serta kelemahan dan kelebihan dari pajak berganda tersebut! Sebutkanlah dasar hukumnya!

Pajak berganda adalah pengenaan pajak pada suatu objek pajak yang sama lebih dari satu kali. Untuk mencegah hal tersbut terjadi maka pemerintah menetapkan P3B dan yuridiksi pemajakan. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. Manfaat P3B adalah fasilitas dalam P3B yang dapat berupa tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh atau pengecualian dari pengenaan pajak di negara sumber.

Untuk mengenal lebih jauh mengenai yurisdiksi pemungutan pajak, maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai apa itu Yurisdiksi. Yurisdiksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kekuasaan mengadili; lingkup kuasa kehakiman; peradilan; lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab dalam suatu wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum. Jika dipandang dari administrasi perpajakan, yurisdiksi memiliki arti suatu batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya tidak menjadi berulang- ulang yang bisa memberatkan orang yang dikenakan pajak. Beriku merupakan asas – asas pemungutan pajak:

A.     Asas Kebangsaan

Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara mengga¬bungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.

B.     Asas Domisili

Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).

C.     Asas Sumber

Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.

 

Kelemahan dari Pajak Beganda adalah:

Mengakibatnya pengenaan pajak tidak dilakukan sama sekali di dua negara (tax evasion) atau dikenakan berulang di masing-masing negara tersebut (double taxation). Pengenaan pajak ganda tersebut memberikan dampak negatif bagi pengusaha dengan transaksi global yang akan menanggung pajak yang lebih besar dari yang seharusnya. Untuk menghindari kedua efek tersebut, diperlukan adanya pengaturan-pengaturan antara kedua negara yang melakukan hubungan ekonomi. P3B muncul karena adanya benturan jurisdiksi perpajakan antara negara-negara yang punya modal (capital exporting countries) dan negara-negara yang membutuhkan modal (capital importing countries). Kedua negara tersebut melakukan hubungan ekonomi yang tidak terlepas dari aspek perpajakan.

Keunggulan dari Pajak Berganda adalah:

Menguntungkan pengusaha yang memiliki transaksi secara internasional, memungkinan dikenakan tarif yang lebih rendah serta fasilitas perpajakan lainnya, agar tertarik untuk melakukan usaha di Indonesia. Kemudahan fasilitas perpajakakan tertuang dalam P3B. Juga peningkatan pendapatan negara melalui pemodalan, penyerapan tenaga kerja serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih maju

Dasar Hukum Pajak Berganda adalah:

Pengaturan-pengaturan tersebut selanjutnya tertuang di dalam P3B. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara lain.” Selanjutnya, dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional “Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.” Dan Pasal 32 A UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan stdd UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakkan pajak.”

Kedudukan P3B bedasarkan ketentuan ini adalah lex specialis derogat legi generali terhadap Undang-undang domestik. Sehingga, jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang didahulukan adalah ketentuan P3B sebagai hukum yang khusus dalam mengatur hal yang sama. Sementara itu, proses pembentukan P3B seperti proses pendekatan, perundingan, ratifikasi serta pemberlakuannya tunduk kepada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Pada Pasal 35 UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan stdd UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja “Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Mengingat Pasal 32A dan 35 UU tentang Pajak Penghasilan maka terbitlah Peraturan Pemerintah No 94 Tahun 2010 Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 94 Tahun 2010 mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 Tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

 

 

 


1.      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lima Sektor PBB dan Alasan Mengapa PBB-P3 Masih Tetap Pajak Pusat

Pajak karbon dan Pungutan Negara yang Menyerupai